Literasi Media Building the Field of Digital Media and Learning

 

The Needed Skills and Enabling Participation in the New Media Culture




Menurut New London Group, misi pendidikan secara umum untuk memastikan siswa mendapat manfaat dari pembelajaran dengan berpartisipasi penuh. Adapun yang dijelaskan beberapa kasus dalam Building the Field of Digital Media and Learning, Ashley Ricardo yang ingin mengendalikan pemerintah dengan mengikuti perdebatan dalam pemilu. Juga Heather Lawver yang ingin meningkatkan keterampilan membaca dan menulis anak muda dengan mendirikan publikasi online dengan staf lebih dari 100 orang yang berasal dari seluruh dunia. Ada juga Blake Ross yang mengembangkan keterampilan pemrograman computer serta menerbitkan situs web. Mereka merupakan seorang siswa yang dimana melakukan suatu keterampilan tanpa diajarkan di sekolah. Mereka mengembangkan banyak keterampilan dan pengetahuan melalui partisipasi mereka dalam komunitas pembelajaran dan menurut saya mereka sangat luar biasa di usia nya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Paw Internet dan American Life menganggap bahwa remaja yang menggunakan internet dianggap sebagai pencipta media. Dimana pencipta media adalah seseorang yang membuat blog atau halaman web, memposting karya seni asli, fotografi, cerita atau video secara online atau me-remix konten online menjadi kreasi baru mereka sendiri. Remaja dan anak-anak yang menggunakan internet tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam partisipasi berdasarkan ras-etnis. Studi Pew juga menghitung jumlah anak muda Amerika yang ternyata menganut budaya partisipatif baru dimana difokuskan pada munculnya konteks budaya yang mendukung partisipasi luas dalam produksi dan distribusi media. Itu merupakan suatu studi yang baik karena biasanya para remaja jarang menggunakan budaya dalam partisipasi internet.

Adapun dalam Building the Field of Digital Media and Learning didefinisikan budaya partisipatif sebagai salah satu:

  1. Dengan hambatan yang relatif rendah terhadap ekspresi artistik dan keterlibatan masyarakat
  2. Dengan dukungan kuat untuk membuat dan berbagi kreasi seseorang dengan orang lain
  3. Dengan beberapa jenis bimbingan informal dimana apa yang diketahui oleh yang paling berpengalaman diteruskan ke pemula
  4. Di mana anggota percaya bahwa kontribusi mereka penting
  5. Di mana para anggota merasakan suatu tingkat hubungan sosial satu sama lain (setidaknya mereka peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang apa yang telah mereka ciptakan).

Tidak setiap orang harus berkontribusi, tetapi semua harus percaya bahwa mereka bebas untuk berkontribusi ketika siap dan bahwa apa yang mereka sumbangkan akan dihargai dengan tepat. Budaya partisipatif menggeser fokus literasi dari salah satu ekspresi individu ke keterlibatan masyarakat. Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya melalui kata, suara, dan gambar, bahkan jika sebagian besar tidak akan pernah menulis, melakukan, atau menggambar secara profesional.

Sebagian besar diskusi kebijakan publik tentang media baru berpusat pada teknologi atau alat dan keterjangkauannya. Komputer dibahas sebagai kotak hitam ajaib yang berpotensi menciptakan revolusi pembelajaran. Media beroperasi dalam konteks budaya dan kelembagaan tertentu yang menentukan bagaimana dan mengapa mereka digunakan. Menyuntikkan teknologi digital ke dalam suatu kelas tentu mempengaruhi hubungan kita dengan setiap teknologi komunikasi lainnya, mengubah perasaan kita tentang apa yang dapat atau harus dilakukan dengan pensil dan kertas, kapur dan papan tulis, buku, film, dan rekaman. Penting alat apa yang tersedia untuk suatu budaya, tetapi yang lebih penting adalah apa yang dipilih budaya untuk dilakukan dengan alat-alat itu.

Dalam Building the Field of Digital Media and Learning memfokuskan konsep budaya partisipatif dibandingkan interaktif. Interaktivitas adalah milik teknologi, sedangkan partisipasi adalah milik budaya. Budaya partisipatif muncul saat budaya menyerap dan merespons ledakan teknologi media baru yang memungkinkan konsumen rata-rata mengarsipkan, membuat anotasi, menyesuaikan, dan mensirkulasi ulang konten media dengan cara baru yang kuat. Mereka menggunakan partisipasi sebagai istilah yang melintasi praktik pendidikan, proses kreatif, kehidupan masyarakat, dan kewarganegaraan demokratis. Tujuan kita harus mendorong kaum muda untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, kerangka kerja etis, dan kepercayaan diri yang dibutuhkan untuk menjadi peserta penuh dalam budaya kontemporer.

Menurut Building the Field of Digital Media and Learning banyak anak muda yang sudah menjadi bagian dari proses budaya partisipatif, seperti:

  • Afiliasi dimana dalam komunitas online berpusat pada berbagai bentuk media, seperti Friendster, Facebook, papan pesan, metagaming, klan permainan, atau MySpace
  • Ekspresi yang menghasilkan bentuk kreatif baru, seperti pengambilan sampel digital, skinning dan modding, pembuatan video penggemar, penulisan fiksi penggemar, zine, mash-up
  • Pemecahan Masalah Kolaboratif dimana mereka bekerja sama dalam tim, formal dan informal, untuk menyelesaikan tugas dan mengembangkan pengetahuan baru, seperti melalui Wikipedia, permainan realitas alternatif
  • Sirkulasi dimana anak muda membentuk aliran media, seperti podcasting, blogging

Tim Building the Field of Digital Media andLearning berharap bahwa budaya pertisipatif dapat memjadikan anak-anak muda memperoleh keterampilan yang akan bergina dimasa depan. Karena Semakin banyak pekerjaan yang berfokus pada nilai budaya partisipatif dan dampak jangka panjangnya pada pemahaman anak-anak tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.

Menurut Gee (2004) budaya partisipatif mewakili lingkungan belajar yang ideal disebutnya sebagai "ruang afinitas". Menurut Gee, ruang afinitas menawarkan peluang yang kuat untuk belajar, karena ditopang oleh upaya bersama yang menjembatani segala perbedaan, dan karena orang dapat berpartisipasi dalam berbagai cara sesuai dengan keterampilan dan minat mereka, dan karena mereka memungkinkan setiap peserta untuk merasa seperti seorang ahli sambil memanfaatkan keahlian orang lain.

Ruang afinitas berbeda dari sistem pendidikan formal dalam beberapa hal. Sementara pendidikan formal seringkali konservatif, pembelajaran informal dalam budaya populer sering kali bersifat eksperimental. Sementara pendidikan formal bersifat statis, pembelajaran informal dalam budaya populer bersifat inovatif. Struktur yang menopang pembelajaran informal lebih bersifat sementara, struktur yang mendukung pendidikan formal lebih bersifat institusional.

Berdasarkan studi Pew, mereka menyarankan sesuatu yang lebih kepada kaum muda yang membuat dan mengedarkan media mereka sendiri lebih mungkin untuk menghormati hak kekayaan intelektual orang lain karena mereka merasa memiliki kepentingan yang lebih besar dalam ekonomi budaya. Menurut Buckingham (2000) berpendapat bahwa kurangnya minat anak muda terhadap berita dan keterputusan mereka dari politik mencerminkan persepsi mereka tentang ketidakberdayaan. Tetapi budaya partisipatif menawarkan kesempatan bagi kaum muda untuk terlibat dalam debat sipil, untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, untuk menjadi pemimpin politik, meskipun terkadang hanya melalui “kehidupan kedua” yang ditawarkan oleh game multipemain masif atau komunitas penggemar online.

Berpartisipasi dalam ruang afinitas memiliki implikasi ekonomi. Tim Building the Field of Digital Media and Learning menduga bahwa anak muda yang menghabiskan lebih banyak waktu bermain dalam lingkungan media baru akan merasakan kenyamanan yang lebih besar untuk berinteraksi satu sama lain melalui saluran elektronik, menjelajahi lebih besar informasi, akan lebih mampu untuk melakukan banyak tugas dan membuat keputusan cepat tentang kualitas informasi yang mereka terima, dan akan dapat berkolaborasi lebih baik dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang beragam. Anak-anak kontemporer sering kekurangan akses ke ruang bermain dunia nyata, dengan konsekuensi kesehatan yang merugikan, bahwa orang dewasa tidak cukup mengawasi dan berinteraksi dengan anak-anak tentang media yang mereka konsumsi atau kekhawatiran tentang nilai-nilai moral dan komersialisasi dalam banyak hiburan kontemporer. Itu nampaknya tidak hanya terjadi di Amerika saja, di Indonesia sama hal nya, orang dewasa kurang memperhatikan akses dunia maya anak-anak sehingga berdampak buruk bagi kesehatannya, layaknya yang dikatakan dalam Building the Field of Digital Media and Learning anak-anak dapat menyesatkan orang dewasa tentang peran yang harus dimainkan oleh guru dan orang tua dalam membantu anak-anak belajar dan tumbuh. Sehingga kita sebagai generasi muda harus lebih menyaring berbagai akses media juga membantu para orang dewasa untuk mengawasi anak-anak agar mereka tidak terjerumus kedalam hal-hal negative falam mengakses media ataupun internet.


Komentar